Selasa, 02 Januari 2018

VIA CIKARACAK (Bagian 2)

    Saya pun terus melanjutkan perjalanan. Saat itu, meskipun jalanan berbatu tetapi saya masih bisa mengatasinya, karena memang benar kata si ibu warung tadi, biarpun berbatu jalannya cukup rata. 

Melewati tikungan tempat di mana menghilangnya motor tadi yang mendahului, jalanan agak menurun dan berkelok dan sedikit tertutup rimbunnya semak-semak di pinggiran jalan. Selang beberapa saat kondisi jalan mulai berubah. Jalanan berbatu yang tadinya rata kini mulai berbentuk tonjolan-tonjolan. Tentu ini menyulitkan bagi saya, karena dalam kondisis jalan seperti ini saya harus menahan guncangan dan beban berat motor agar laju motor tidak liar. Tentu ini tidak akan terlalu masalah jika motor yang dikendarai jenis motor bergigi, sementara motor yang saya kendarai adalah motor matic. (Ini bukan medanmu hayate ku, maafkan aku).

Sampai disebuah tikungan saya dikejutkan dengan kehadiran sebuah bis. Saya melihat bis ini kesulitan menaiki jalan menanjak dan menikung. Saya berhenti sesaat sambil coba memperhatikan bis ini. Ternyata bis ini adalah Bis Damri. Pada kaca bagian depan tertulis trayeknya Pelabuhan Ratu - Leuwiliang. 
Damri Plara Lw. liang (sumber Youtube)
Saya lihat juga penumpangnya banyak. 
Pak supir sepertinya berhati-hati betul berusaha menjaga keseimbangan bis ini dari guncangan akibat jalan berbatu dan bergelombang, karena salah sedikit saja bisa-bisa bis ini akan terguling dan masuk jurang. Karena di salah satu sisi jalan ini adalah memang berupa jurang. Dengan arahan kernetnya yang turun ke jalan akhirnya bis itu berhasil menaiki tanjakan dengan selamat. Saya pun merasa lega dan bersyukur. Saya pun melanjutkan perjalanan.

Kehadiran Bis Damri tadi  ternyata mengusik pikiran saya. Dalam benak saya, "kok bisa yah ada angkutan umum di jalan yang kondisinya seperti ini?". Saking terusiknya, di kemudian hari saya coba searching di google dan akhirnya saya dapat informasi bahwa angkutan Damri tadi itu adalah merupakan angkutan perintis. Maksudnya adalah kegiatan angkutan yang melayani jaringan dan rute untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transformasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. (itu toh)

Kembali ke perjalanan. Setelah bertemu Damri tadi, suasana jalanan kembali sunyi seperti sedia kala. Pepohonan di kiri dan kanan jalan semakin rindang. Suasana menjadi teduh. Disela-sela bebatuan jalan yang dilewati mulai basah. Bebatuan di jalan itu sepertinya menjadi semakin besar saja. Apalagi saat itu Jalan menanjak dan menikung kemudian menanjak lagi dan menikung lagi. Rasanya saya sudah tidak tahan dan sedikti frustasi. Hal itu ditandai dengan munculnya pikiran untuk tidak melanjutkan perjalanan alias balik lagi. Sesaat setelah melawati tanjakan dan tikungan tiba-tiba saya dikejutkan oleh sesosok orang yang tengah merunduk ditengah jalan. Rasa khawatir akan adanya bahaya tiba-tiba muncul. Saya coba tetap tenang tapi juga tetap waspada. Tiba-tiba orang tersebut malah tersenyum saat saya melewatinya. Saya lihat dipinggir jalan terparkir sepeda motor. Dan saya baru sadar ternyata orang ini adalah pengendara motor yang menyalip motor saya beberapa waktu yang lalu. Saya pun tersenyum sambil bertanya, "kenapa?". "HP jatuh", jawabnya. "ooh", gumam saya, Tanpa  berlama-lama saya pun melanjutkan perjalanan. 

Jalan menanjak dan berbatu sudah saya lalui. Kini saya memasuki jalan beraspal yang sudah tergerus dengan lobang di mana-mana. Saya melewati sebuah warung kecil entah menjual apa saya tidak tahu persisi. Yang jelas posisi warung agak menjorok ke dalam dari badan jalan. Di warung itu ada dua orang laki-laki sedang duduk dan menghadap kejalan dan sempat memperhatikan kearah saya ketika saya melewati warung tersebut. Saya tak perduli. Saya terus berjalan. 

Area disekitar jalan kini merupakan area terbuka. Nampaknya ini adalah perkebunan teh. Mungkin ini yang dibilang perkebunan teh Cianteun seperti yang dibilang si ibu warung itu. Suasananya sepi. Saya terus semakin ke dalam memasuki area perkebunan itu. Dari kejauhan terdengar hiruk pikuk suara anak-anak kecil sedang bermain. Benar saja, disekitaran kompleks pengolahan teh terlihat beberapa anak sedang bermain. 

Setelah melewati kompleks tersebut jalanan kembali sunyi dan sepi. Tak berapa lama kemudian saya melihat dua orang anak SD yang baru pulang sekolah. Mungkin anak sekitaran kelas 2 atau 3. Saya jadi bertanya-tanya, "di mana mereka tinggal? di mana mereka sekolah?". Pertanyaan itu muncul karena sepanjang perjalanan yang saya lalui tidak ada perkampungan yang saya jumpai. Saya jadi membayangkan bagaimana kalau anak-anak tadi adalah Aca dan Ama (nama panggilan anak saya yang ke empat dan ketiga). nggak, ... nggak, ...nggak ... Saya segera menepis bayangan itu. 

Saya pun terus melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya saya dibuat kaget dengan kondisi jalan yang ada di depan saya. Yah, jalanan berbatu. Ternyata saya kembali harus berhadapan dengan jalan seperti ini. Lebih parahnya lagi, jalanan ini posisinya menurun dan turunannya cukup curam dan sedikit berbelok dengan batu-batu yang ukurannya lebih besar dari batu-batu dijalanan sebelumnya. Yah terpaksa saya harus menjalaninya. sebenarnya yang membuat saya agak khawatir dalam perjalanan dalam kondisi seperti ini adalah karena saya membonceng istri. Kalau sendiri mungkin tidak terlalu risau. 

Bismillah, saya pun mulai memasuki jalanan berbatu itu. Saya berpesan kepada istri agar menguatkan pegangannya dan merapatkan badannya. Stang saya pegang kuat, rem dalam posisi siap tekan, dan gas tekanan rendah dibuat stabil mungkin. Yap, motor meluncur. Gejlag, .. gejlug, ...  gejlag,... gejlug,... Motor meluncur nggak karuan. Sekuat tenaga saya tahan dan arahkan ban motor ke jalanan yang agak datar. Keringat bercucuran dengan deras. Otot terasa kaku. Ingin rasanya saya segera mengakhiri perjalanan ini. Tapi anehnya justru perjalanan ini terasa semakin panjang dan melelahkan. Saya perhatikan ke bawah. Ternyata  di bawah sana ada jembatan. "Itu artinya jalan datar sudah di depan mata", kata saya dalam hati. Motor terus meluncur dan akhirnya sampai juga di atas jembatan. Sesaat setelah motor berhenti saya menarik nafas panjang. Lega rasanya. Alhamdulillah. Kemudian saya dan istri turun dari motor. Saya menggerak-gerakan tangan, badan, dan kaki untuk melemaskan otot-otot. 

Dari atas jembatan, sambil perpegangan pada pagar pembatas jembatan saya melihat-lihat ke sungai. Saya lihat aliran sungai ini deras dan airnya jernih. Banyak babatuan berukuran besar. Kalau melihat air terkumpul seperti ini biasanya muncul keinginan untuk memancing, bukan berenang. Yah memang, memancing itu hobi lama saya yang sewaktu-waktu bisa muncul kembali. Bukan berenang? Tentu hal ini bisa dimaklumi, karena memang saya tidak bisa berenang. Meskipun dulu sewaktu sekolah di SMP saya sudah kenyang minum air kolam renang (maksudnya sering kelelep gitu). 


warung tempat saya membeli bensin.(sumber : youtube)
Tak jauh dari jembatan tempat saya berdiri saat ini ada sebuah warung. Seperinya warung itu menjual bensin, karena saya lihat ada jejeran botol di depan warung itu. Biasanya pedagang bensin eceran memajang bensinnya dalam botol. Saya pun bergegas menuju warung itu untuk mengisi bensin. Saat pemilik warung mengisikan bensin ke tangki motor, saya pun menggunakan kesempatan ini untuk bertanya tentang tempat yang akan saya tuju, yaitu Kabandungan. Menurutnya sudah dekat, tinggal melewati daerah Cipeuteuy. "Bagaimana jalannya bu, bagus nggak?", tanya saya dalam bahasa sunda. " sae, kadinya jalanna tos aspal", jawab si ibu. Saya pun senang mendengar jawaban si ibu seperti itu.
Lalu saya pun bergegas pergi setelah membayar bensin dan mengucapkan terimakasih. Kaget juga sebenarnya ketika saya tahu harga bensin yang harus saya bayar. Saya kira harganya akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan tempat lain, ternyata harganya sama saja. "kok bisa yah ?" tanya saya dalam hati. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar