Hari sabtu, 21 Januari 2017 saya bersama istri memenuhi undangan pernikahan. Tempat acara pernikahannya sendiri berada di daerah Sukabumi, tepatnya di daerah Kabandungan Kabupaten Sukabumi. Pada waktu yang bersamaan ada kegiatan Edu-Expo di sekolah tempat saya tugas. Saya akhirnya meminta ijin tidak bisa hadir.
Malam sebelum hari keberangkatan saya mencoba
searching alamat tujuan. Menurut petunjuk di Google Earth selain dapat ditempuh melalui Ciawi, ternyata daerah itu juga dapat di tempuh melalui jalur Leuwiliang dan jaraknya jauh lebih dekat ketimbang lewat Ciawi. Mulailah saya berfikir jalur mana yang akan ditempuh, apakah mau lewat Ciawi atau lewat Leuwiliang?. Kalau lewat Ciawi rasanya sudah tidak asing lagi. Kalau lewat Leuwiliang belum tahu medannya seperti apa, karena memang belum pernah lewat jalur tersebut. uppps ... Kayaknya lewat Jalur Leuwiling menarik juga untuk dicoba. Ya kenapa tidak, lebih dekat dan belum pernah lewat jalur tersebut, ini akan menjadi perjalanan menantang (hahahaha .. My trip My Adventure). Tapi sebentar, bagaimana kalau dicoba kedua-duanya, berangkat lewat Ciawi pulangnya lewat Leuwilaing. ya ya ya kayaknya ini jauh lebih adil dan bijaksana.
searching alamat tujuan. Menurut petunjuk di Google Earth selain dapat ditempuh melalui Ciawi, ternyata daerah itu juga dapat di tempuh melalui jalur Leuwiliang dan jaraknya jauh lebih dekat ketimbang lewat Ciawi. Mulailah saya berfikir jalur mana yang akan ditempuh, apakah mau lewat Ciawi atau lewat Leuwiliang?. Kalau lewat Ciawi rasanya sudah tidak asing lagi. Kalau lewat Leuwiliang belum tahu medannya seperti apa, karena memang belum pernah lewat jalur tersebut. uppps ... Kayaknya lewat Jalur Leuwiling menarik juga untuk dicoba. Ya kenapa tidak, lebih dekat dan belum pernah lewat jalur tersebut, ini akan menjadi perjalanan menantang (hahahaha .. My trip My Adventure). Tapi sebentar, bagaimana kalau dicoba kedua-duanya, berangkat lewat Ciawi pulangnya lewat Leuwilaing. ya ya ya kayaknya ini jauh lebih adil dan bijaksana.
Sebenarnya niatan jauh-jauh hari inginnya berangkat pagi-pagi banget, paling tidak setelah mengantar anak-anak ke sekolah, ya kira-kira jam tujuhan lah. Tapi karena tetangga mengundang untuk menghadiri akad nikah anaknya maka jadwal keberangkatan saya undurkan. Acara akad nikah sendiri dijadwalkan berlangsung jam 08.00, itu artinya jika acaranya memakan waktu satu jam, maka saya baru bisa berangkat paling cepat jam sembilan. Benar sekali dugaan saya, karena memang jam 08.56 saya sudah dalam perjalanan pulang dari mushola tempat akad nikah berlangsung.
Jam 09 lewat 10 menit saya dan istri sudah di atas Hayate dan siap berangkat meninggalkan rumah dan anak-anak. Sebelum memasuki jalur utama saya pun menyempatkan membuka aplikasi penunjuk jalan Waze. Sesampainya di ujung jalan mendekati jalan Soleh Iskandar seberang Yogya jalan baru, saya bertanya pada istri "mau lewat mana"?, " terserah aja " jawab istri. Lalu saya berfikir sejenak, "lewat Ciawi banyak macet dan pasti banyak ketemu tronton". Yah akhirnya saya pun memutuskan lewat Leuwiliang saja dan pulangnya baru lewat Ciawi.
Masuk jalan Sholeh Iskandar, putar arah di depan UIK, lanjut terus depan Yogya. Kendaraan padat merayap di sepanjang jalan Sholeh Iskandar menuju Yasmin. Lewat Yasmin terus menyebrang jalan raya semplak, terus masuk Bubulak. Lanjut terus sampai Dramaga, melewati kampus IPB. kemudian lanjut terus masuk Ciampea, Cibatok, hingga akhirnya sampai di Leuwiliang.
Dari Leuwiliang belok kiri terus melewati pesantren Ummul Quro. Terus memasuki daerah Cikaracak. Semakin jauh meninggalkan Cikaracak jalanan semakin sepi. Hanya satu dua kendaraan saja sekali waktu berpapasan. Tikungan dan tanjakan tajam mulai sering dilalui. Udara dingin hawa pegunungan mulai terasa menusuk. Kiri kanan jalan hanyalah pepohonan atau kadang jurang yang ditemui. Perkampungan atau rumah penduduk tak lagi dapat dijumpai. Suasananya benar-benar sepi alias sepi bangets. Hanya view indah yang dijumpai sesaat dapat menepis rasa sepi itu, bahkan memberi daya tarik tersendiri hingga akhirnya saya berhenti untuk mengabadikannya. Suasana yang benar-benar sepi membuat saya tak ingin berlama-lama. Saya pun segera tancap gas kembali melanjutkan perjalanan.
Suasana jalan semakin bertambah sepi. Bagaimana tidak, dijalan itu hanya ada saya dan istri saya di atas motor. Sementara di depan dan dibelakang jalanan begitu lengang tak ada satu kendaraan pun. Dalam perjalanan itu saya mulai berhati-hati. Hal itu terutama setelah melintas fikiran buruk "mengkhawatirkan sesuatu yang dirindukan". Saya mulai waspada ketika ada kendaraan yang datang dari arah depan. Saya juga waspada ketika mendengar suara kendaraan dari arah belakang. Saya tidak mengerti mengapa perasaan seperti itu bisa muncul, padahal kehadiran akan hal itu tadi adalah sesuatu yang dirindukan.
Namun alhamdulillah, saya bersyukur perasaan itu tidak berlangsung lama, karena di depan nampak sebuah warung yang berada tepat di antara dua cabang jalan. Saya pun berhenti di warung itu untuk beritirahat sejenak. Sambil minum dan beristirahat saya bertanya-tanya tentang jalan menuju daerah tujuan kepada si ibu pemilik warung dalam bahasa sunda. "Bu, upami bade ka Kabandungan jalan nu ka palih dieu atanapi nu ka palih ditu?" tanya saya sambil menunjuk dua arah jalan berbeda. "nu palih dieu", jawab si ibu sambil menunjuk jalan yang tepat berada disamping warungnya. "masih teubih teu Bu?", tanya saya lagi. "Atos caket, tapi Kabandungan mah da atos lebet ka Sukabumi", jawab si ibu. "Muhun Bu, abdi bade ka Sukabumi, desana Tugubandung kecamatan Kabandungan. "kira-kira sabaraha lami nya bu?" tanya saya lagi. "Kinteun-kinteun sajam sateungah deui lah, tapi mun tiasa cepet mah sajam oge dugi" jawab si ibu warung. "ngkin ngalangkungan desa Purasari, ngalangkungan kebon teh Cianteun, teras leubeut ka Cipeuteuy" tambah si Ibu. "oh kitu", ucap saya sambil lihat Waze. Nampak jarak dari posisi tempat saya berada saat itu sampai Desa Tugu Bandung yang akan saya tuju menunjukkan jarak 14 km. Setelah membayar minuman dan makanan saya pun pamitan untuk melkanjutkan perjalanan, dan tak lupa mengucapkan terimakasih.
Dalam perjalanan selepas dari warung tempat saya beristirahat tadi tampak pemukiman di sebelah kiri kanan jalan. Mungkin ini desa Purasari yang disebut si ibu warung tadi. Keadaan ini cukup menghibur. Tapi sayang, keadaan itu tidak berlangsung lama, karena selepas perkampungan itu saya kembali mendapati jalanan yang sepi bahkan sangat sepi. Jalanan pun kian menanjak dan berkelok. Semakin jauh perjalanan yang saya tempuh jalanan benar-benar dirasakan semakin sepi. Tiba-tiba dari belakang ada motor mendahului. Pengendararnya seorang pemuda dengan motor bergigi, tapi saya tidak tahu persis motor apa yang dia kendarai. Ada perasaan senang muncul saat itu. "berarti saya tidak sendiri", pikir saya. Namun sayang seribukali sayang motor itu tancap gas hingga akhirnya menghilang dibalik tikungan jalan. Saya kembali sendiri di jalanan itu.
Udara dingin hawa pegunungan kembali terasa, bahkan terasa lebih dingin dari sebelumnya. Saya perhatikan jalanan mulai sedikit basah dan berlubang. Parahnya lagi ternyata lama kelamaan lobang itu semakin banyak. Saya terus memacu kendaraan saya sambil memilih jalan yang lebih rata dan beraspal. Makin lama aspal jalan semakin habis, bahkan benar-benar habis. Jalanan beraspal kini berganti menjadi jalanan berbatu. Saya baru ingat kalau si ibu warung tadi sempat memberi tahu bahwa nanti akan ketemu jalanan berbatu. "Mungkin ini jalan yang dimaksud si ibu tadi", Pikir saya.
Saya pun terus melanjutkan perjalanan. Saat itu, meskipun jalanan berbatu tetapi saya masih bisa mengatasinya, karena memang benar kata si ibu warung tadi, biarpun berbatu jalannya cukup rata. (bersambung ke Via Cikaracak Bagian 2)
Jam 09 lewat 10 menit saya dan istri sudah di atas Hayate dan siap berangkat meninggalkan rumah dan anak-anak. Sebelum memasuki jalur utama saya pun menyempatkan membuka aplikasi penunjuk jalan Waze. Sesampainya di ujung jalan mendekati jalan Soleh Iskandar seberang Yogya jalan baru, saya bertanya pada istri "mau lewat mana"?, " terserah aja " jawab istri. Lalu saya berfikir sejenak, "lewat Ciawi banyak macet dan pasti banyak ketemu tronton". Yah akhirnya saya pun memutuskan lewat Leuwiliang saja dan pulangnya baru lewat Ciawi.
Masuk jalan Sholeh Iskandar, putar arah di depan UIK, lanjut terus depan Yogya. Kendaraan padat merayap di sepanjang jalan Sholeh Iskandar menuju Yasmin. Lewat Yasmin terus menyebrang jalan raya semplak, terus masuk Bubulak. Lanjut terus sampai Dramaga, melewati kampus IPB. kemudian lanjut terus masuk Ciampea, Cibatok, hingga akhirnya sampai di Leuwiliang.
Dari Leuwiliang belok kiri terus melewati pesantren Ummul Quro. Terus memasuki daerah Cikaracak. Semakin jauh meninggalkan Cikaracak jalanan semakin sepi. Hanya satu dua kendaraan saja sekali waktu berpapasan. Tikungan dan tanjakan tajam mulai sering dilalui. Udara dingin hawa pegunungan mulai terasa menusuk. Kiri kanan jalan hanyalah pepohonan atau kadang jurang yang ditemui. Perkampungan atau rumah penduduk tak lagi dapat dijumpai. Suasananya benar-benar sepi alias sepi bangets. Hanya view indah yang dijumpai sesaat dapat menepis rasa sepi itu, bahkan memberi daya tarik tersendiri hingga akhirnya saya berhenti untuk mengabadikannya. Suasana yang benar-benar sepi membuat saya tak ingin berlama-lama. Saya pun segera tancap gas kembali melanjutkan perjalanan.
Suasana jalan semakin bertambah sepi. Bagaimana tidak, dijalan itu hanya ada saya dan istri saya di atas motor. Sementara di depan dan dibelakang jalanan begitu lengang tak ada satu kendaraan pun. Dalam perjalanan itu saya mulai berhati-hati. Hal itu terutama setelah melintas fikiran buruk "mengkhawatirkan sesuatu yang dirindukan". Saya mulai waspada ketika ada kendaraan yang datang dari arah depan. Saya juga waspada ketika mendengar suara kendaraan dari arah belakang. Saya tidak mengerti mengapa perasaan seperti itu bisa muncul, padahal kehadiran akan hal itu tadi adalah sesuatu yang dirindukan.
Namun alhamdulillah, saya bersyukur perasaan itu tidak berlangsung lama, karena di depan nampak sebuah warung yang berada tepat di antara dua cabang jalan. Saya pun berhenti di warung itu untuk beritirahat sejenak. Sambil minum dan beristirahat saya bertanya-tanya tentang jalan menuju daerah tujuan kepada si ibu pemilik warung dalam bahasa sunda. "Bu, upami bade ka Kabandungan jalan nu ka palih dieu atanapi nu ka palih ditu?" tanya saya sambil menunjuk dua arah jalan berbeda. "nu palih dieu", jawab si ibu sambil menunjuk jalan yang tepat berada disamping warungnya. "masih teubih teu Bu?", tanya saya lagi. "Atos caket, tapi Kabandungan mah da atos lebet ka Sukabumi", jawab si ibu. "Muhun Bu, abdi bade ka Sukabumi, desana Tugubandung kecamatan Kabandungan. "kira-kira sabaraha lami nya bu?" tanya saya lagi. "Kinteun-kinteun sajam sateungah deui lah, tapi mun tiasa cepet mah sajam oge dugi" jawab si ibu warung. "ngkin ngalangkungan desa Purasari, ngalangkungan kebon teh Cianteun, teras leubeut ka Cipeuteuy" tambah si Ibu. "oh kitu", ucap saya sambil lihat Waze. Nampak jarak dari posisi tempat saya berada saat itu sampai Desa Tugu Bandung yang akan saya tuju menunjukkan jarak 14 km. Setelah membayar minuman dan makanan saya pun pamitan untuk melkanjutkan perjalanan, dan tak lupa mengucapkan terimakasih.
Udara dingin hawa pegunungan kembali terasa, bahkan terasa lebih dingin dari sebelumnya. Saya perhatikan jalanan mulai sedikit basah dan berlubang. Parahnya lagi ternyata lama kelamaan lobang itu semakin banyak. Saya terus memacu kendaraan saya sambil memilih jalan yang lebih rata dan beraspal. Makin lama aspal jalan semakin habis, bahkan benar-benar habis. Jalanan beraspal kini berganti menjadi jalanan berbatu. Saya baru ingat kalau si ibu warung tadi sempat memberi tahu bahwa nanti akan ketemu jalanan berbatu. "Mungkin ini jalan yang dimaksud si ibu tadi", Pikir saya.
Saya pun terus melanjutkan perjalanan. Saat itu, meskipun jalanan berbatu tetapi saya masih bisa mengatasinya, karena memang benar kata si ibu warung tadi, biarpun berbatu jalannya cukup rata. (bersambung ke Via Cikaracak Bagian 2)
Saya tunggu sambungan crita perjalanan pak Saep....
BalasHapusSy jg seneng jalan2 pak; apalagi klo di tempat2 baru yg pemandangannya okk...
Lanjutkan pak...
inshaalloh, kapan-kapan akan saya lanjutkan. trimakasih bu yuli
HapusMantapppp bro
BalasHapusMantap cerita pengalaman nyatanya pa.
BalasHapus